Perbedaan Anak dan Boru Pada Adat Batak

Kedudukan perempuan dalam hukum adat Batak berbeda dengan ketentuan dalam hukum nasional, terutama soal warisan. Anak perempuan bukan sebagai ahli waris tetapi dapat menerima bagian harta warisan sebagai pemberian.

“Hukum adat Batak yang tidak menunjang, mendorong kesetaraan dan keadilan gender perlu ditinggalkan karena bertentangan dengan hak azasi manusia. Kedudukan perempuan sangat lemah dibanding laki-laki. Ini suatu indikasi adat Batak diskriminatif terhadap perempuan. Sementara dalam hukum nasional kedudukan seimbang baik dalam hak mau pun kewajiban.”

Demikian Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tarutung, Saur Sitindaon, SH,MH pada seminar sehari kedudukan dan peranan perempuan Batak, Selasa (26/9), di Balai Data Kantor Bupati Taput diikuti tokoh-tokoh adat berbagai marga.

Saur Sitindaon dalam makalahnya bertajuk, ‘Kedudukan dan Peranan perempuan Batak dalam hukum adat dikaitkan dengan hukum nasional’, lebih memfokuskan perlunya para tokoh adat menyikapi kedudukan perempuan dalam hukum adat batak. Apalagi dalam masalah pembagian harta warisan.

Ungkapan pepatah Batak ‘Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru” (Kedudukan anak dan perempuan sama) hanya teori. Omong kosong pepatah itu. Buktinya, banyak kasus yang muncul di pengadilan bahwa pihak laki-laki merupakan pewaris harta nenek moyangnya.

Bahkan di Taput, sebut Sitindaon, masalah diskriminasi itu terlihat jelas. Dari 30 anggota DPRD Taput, hanya dua perempuan yang duduk. Sementara menurut UU No. 12 tahun 2003, perempuan yang duduk 30 persen. Ini tidak tercapai di Taput karena para pimpinan Parpol tidak memberi kesempatan kepada perempuan. “Ini juga pelecehan terhadap perempuan. Mereka hanya memberi nomor urut tidak jadi. Kalau kita konsis maka berikan nomor urut pertama. Jadi bukan hanya omongan saja soal gender tapi pelaksanaannya.”

Maka pada Pemilu mendatang harus ada 30 persen dari perempuan yang duduk di DPRD Taput sehingga seminar ini bukan hanya retorika atau pidato-pidatoan belaka, ujar Sitindaon menambahkan, laksanakan adat itu dengan baik. Undang-undangnya sudah bagus tinggal pelaksanaannya.

Sementara penceramah lainnya, Drs. BP Nababan dan Waldemar Simamora pada intinya menyebut, perempuan dalam budaya Batak statusnya agak parakdosal. Namun sebenarnya status perempuan bagi masyarakat Batak sangat terhormat dan dihargai. Laki-laki dengan perempuan adalah sama. Perempuan Batak sudah banyak memegang peranan di tengah keluarga, masyarakat. Bahkan secara nasional, ujar BP Nababan (Ketua Lembaga Adat Dalihan Natolu).

Sebelumnya Wakil Bupati Taput, Drs. Frans A. Sihombing, MM yang membuka seminar menyebutkan, perempuan Batak harus dapat memotivasi diri untuk maju. Menempa diri dengan berbagai pendidikan, latihan, kursus keterampilan. Perempuan bagi orang Batak sangat dihormati sebagai ‘Boru ni raja, Parsonduk Bolon, Sitiop Puro’ (penentu dalam suksesnya keluarga), ujar Sihombing.

Disebutkan, ke depan perempuan Batak harus dapat mengambil peranan lebih besar dan meraih posisi lebih baik. Tidak hanya sebatas ibu rumah tangga. “Saya ingin seminar ini menghasilkan output bermanfaat untuk mendorong kaum perempuan Batak memajukan diri,” sebut Wakil Bupati.

Seminar yang diprakarsai Bagian Pemberdayaan Perempuan Pemkab Taput itu ditandai tanya jawab dari peserta, pada intinya bagaimana mengangkat harkat dan martabat perempuan dalam adat Batak.

5 comments:

Anonim mengatakan...

Sepintas lalu, Adat Batak yang membedakan hak anak laki laki dengan anak perempuan dalam hal pembagian warisan orang tua memang terlihat diskriminatif.Tetapi kalau kita teliti secara mendalam, justru hal tersebut yang membuat orang Batak masih bertahan sampai saat ini.Kalau bukan oleh karena kuatnya orang Batak mempertahankan adat Batak dalam kehidupannya termasuk dalam hal pembagian warisan, mungkin saat ini P.Samosir pun sudah milik orang lain, seperti halnya dengan suku Melayu yang mungkin sudah minoritas di Kabupaten Deli Serdang.

Edison CP mengatakan...

bener sekali,.. meskipun terlihat diskriminatif, tapi itulah yg membuat tanah batak masih berada di genggaman tangan kita, klo seandainya tidak seperti itu adat orang batak, orang batak akan kehilangan tanah kelahirannya

Anonim mengatakan...

klw warisan tidak diterima kaum perempuan batak..kasian beliau...klw sudah nikah pasti dicemooh sama suami..rugi bgt dah gw kawin sama elu udah keluar sinamot byk...warisan gak ada

Anonim mengatakan...

Sebenarnya itu bukan diskriminatif. Si Perempuan juga bakal dapat warisan dari orangtua suaminya / mertua. Kelihatan diskriminatif karena hanya ditinjau dari 1 orang tua ke anak. Padahal jika sudah berumah tangga disana ada 2 orang tua sendiri dan mertua. Coba tinjau dari 2 orang tua orang tua laki-laki dan perempuan, diskriminatif kah ?

Unknown mengatakan...

Ya.?bagi suku batak generasi penerus adalah anak laki2. Yg membawa marga orang tuanya dan yg mewarisi adad/tanah pusaka nenek moyangnya secara turun-temurun!

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda